Dinasti Politik Sebagai Norma Baru

Dinasti Politik

Modernis.co, Malang – Partai politik kembali gagal menjadi wadah untuk menyiapkan calon pemimpin terutama pada pemilihan Kepala Daerah yang akan datang.     

Tepatnya pada 9 Desember 2020 dengan basis nilai-nilai demokrasi yang agung. Paragmatisme partai politik masih ditunjukkan dengan merekrut orang-orang yang bukan kader partai ataupun yang memeliki kemampuan dalam bidangnya.

Namum rekrutmen hanya untuk mereka yang bermodal besar dan siap melaksanakan mandat partai politiknya. Fungsi rekrutmen yang tidak karuan sangat memicu untuk menyuburkan dinasti politik yang masih menjadi masalah dalam demokratisasi di tingkat lokal.

Dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terkait dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Dinasti politik merupakan hal yang perlu dikhawatrikan karena kesejahtraan dalam distribusinya yang membuat peluang keterpilihan lebih besar pada calon berlatar belakang dinasti yang menjadi norma  perubahan kebijakan, sehingga kader partai politik hanya dikuasai oleh satu keluarga atau hanya beberapa keluarga saja.

Keberadaan politik dinasti merupakan salah satu penyebab kompetisi antar calon dalam pemilihan berjalan tidak fair. Calon yang didukung oleh dinasti politik biasanya memiliki potensi menang lebih besar. Bagaimanapun, pada suatu dinasti politik hampir dapat dipastikan mempunyai jaringan tim pemenangan yang sudah mapan, terstruktur dan menggurita.

Intinya, calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik memiliki keunggulan dalam memenangkan kompetisi dibanding dengan calon lainnya baik karena sumber daya, popularitas, maupun jaringan elit politik dan kekuasaan yang masif untuk menggiring rakyat/pemilih memilihnya.

Dengan kondisi tersebut maka kualifikasi, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki calon dari suatu dinasti bisa saja dianggap bukan variabel penting.

Kepala daerah yang berasal dari dinasti politik mengalami peningkatan yang signifikan, sejak perjalanan pilkada dari 2005. Terlebih setelah putusan MK 33/PUU-XIII/2015 yang menegaskan bahwa praktik dinasti politik adalah konstitusional, sehingga realitasnya bukan lagi menjadi masalah demokrasi lokal.

Melainkan juga menjadi problem demokrasi pada skala yang lebih besar, jikalau dilestarikan lebih luas maka praktik dinasti politik menyebabkan kerusakan sendi demokrasi dan menghambat terwujudnya “Good Governance” hingga mempengaruhi pembangunan ekonomi tingkat nasional.

Model dinasti politik yang berkembang di Indonesia selama bertahun-tahun masih memliki pola yang sama. Mulai dari dinasti politik yang mempertahankan kekuasaan dalam satu wilayah, dinasti politik yang meluaskan kekuasaan ke luar daerah dan lintas kekuasaan.

Bukan hanya dalam ranah eksekutif namun juga dalam lingkungan lembaga legislatif (pembuat undang-undang), adapun dalam ranah daerah hingga istri dari kepala daerah yang maju untuk pilkada dalam rangka melanggengkan/mempertahankan kebijakan suami terdahulu saat menjabat.

Menjadikan istri sebagai sarana mempertahankan kekuasaan suami sebelumnya sangat memberikan nilai dan cita buruk bagi perempuan, khsusunya untuk mengatasnamakan partisipasi perempuan dalam pemerintahan, sehingga bukan lagi dikatakan partisipasi melainkan eksploitasi.

Menurut Brian C. Smith (1998) yang berpendapat bahwa demokrasi di daerah merupakan syarat pertama untuk menculnya demokrasi tingkat nasional. Menurut pendapatnya tersebut dapat diasumsikan bahwa ketika ada perbaikan kualitas demokrasi di tingkat daerah.

Otomatis bisa diartikan adanya perbaikan kualitas demokrasi tingkat nasional pula, karena demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relavan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Sehingga perlu segara dimusnahkan norma dinasti politik ini yang sangat banyak dampak buruknya, peran mahasiswa serta masyarakat sangatlah penting apalagi jika didukung dari pihak yudikatif serta eksekutif maupun legislatif dari segi yuridis.

Oleh: Wulan Rahmah Fadhilah (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment